Selasa, 14 Oktober 2014

EFEK HORMONAL PADA OVULASI DAN PEMIJAHAN IKAN

Copy of UNSOED2







Oleh :                                          

Nama                  : Ikhwan Mulyadi
NIM                     : B1J012187
Rombongan     : V
Kelompok         : 2
Asisten               : Anisa Rahmawati

 






LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN II









KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2014
I.        PENDAHULUAN
1.1   Latar Belakang
Hipofisasi adalah suatu cara untuk merangsang ikan untuk memijah atau terjadinya pengeluaran telur ikan dengan suntikan ekstrak kelenjar hipofisa. Teknik penyuntikan dengan pemijahan buatan atau induced breeding yaitu merangsang ikan untuk kawin. Kelenjar hipofisa adalah kelenjar yang dapat mengendalikan beberapa hormon antara lain hormon pada kelamin jantan (testis) maupun kelamin betina. Hipofisa berukuran sangat kecil, terletak di sebelah bawah bagian depan otak besar (diencephalon) sehingga jika otak kiri diangkat, maka kelenjar ini akan tertinggal. Kelenjar hipofisa terdiri atas 4 bagian masing-masing berurutan dari depan ke belakang adalah pars tubelaris, pars anterior, pars intermedius dan neurophisis (Effendi, 1978).
Metode hipofisasi adalah usaha untuk memproduksi benih dari induk yang tidak mau memijah secara alami tetapi memiliki nilai jual tinggi dengan kelenjar hipofisasi dari ikan donor yang menghasilkan hormon yang merangsang pemijahan seperti gonadotropin. Pemijahan sistem hipofisasi ialah merangsang pemijahan induk ikan dengan menyuntikkan kelenjar hipofisa. Terdapat 3 cara penyuntikan hipofisasi yaitu intra muscular, intra cranial, dan intra perineal (Sumantadinata, 1981).
Manfaat hipofisasi untuk merangsang ikan agar memijah atau terjadinya pengeluaran telur ikan dengan suntikan ekstrak kelenjar hipofisa. Metode hipofisasi bermanfaat  untuk memproduksi benih dari induk yang tidak mau memijah secara alami tetapi memiliki nilai jual tinggi. Hipofisasi dengan kelenjar hipofisasa dari ikan donor yang menghasilkan hormon yang merangsang pemijahan seperti gonadotropin (Ville et al., 1988).

1.2   Tujuan
Tujuan praktikum adalah merangsang ikan untuk ovulasi dan memijah dengan induksi kelenjar hipofisis.



II.    MATERI DAN CARA KERJA
2.1     Materi
Alat yang digunakan adalah pisau besar, centrifuge, ember plastik, gelas ukur, bantalan karet busa berukuran 40 x 30 cm dilapisi plastik atau talenan, tabung reaksi, pinset, serta spuit volume 1 cc dan 5 cc.
Bahan yang digunakan adalah ikan karper matang kelamin atau ikan mas (Cyprinus carpio) sebagai donor, ikan nilem (Osteochillus hasselti) sebagai resipien, dan akuabides.

2.2     Cara Kerja
1.    Ikan resipien diaklimasi selama 3-4 hari.
2.    Kepala ikan emas (donor) dipotong dengan menggunakan pisau besar tepat di belakang operkulum sampai putus.
3.    Pemotongan kedua dilakukan dengan meletakkan kepala ikan emas dengan mulut dihadapkan ke atas, selanjutnya bagian belakang kepala dipotong dimulai dari lubang hidung di atas otak sampai putus sehingga tengkorak kepala terbuka.
4.    Berkas saraf sebelah depan yang berwarna putih dipotong, kemudian otak diangkat sehingga akan terlihat kelenjar hipofisis tepat di bawah otak, warnanya putih dan ukurannya lebih kecil dari butir kacang hijau.
5.    Kemudian kelenjar hipofisis diambil dengan menggunakan pinset, dimasukkan ke dalam gelas ukur, dicuci dengan akuabidest, lalu akuabidest dibuang.
6.    Akuabidest ditambahkan sebanyak 1 cc, kemudian kelenjar hipofisis digerus sampai lumat. Akuabidest ditambahkan sesuai kebutuhan.
7.    Ekstrak kelenjar hipofisis diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Tabung reaksi tersebut dimasukkan ke dalam centrifuge dan diputar selama 10 menit.
8.    Ekstrak kelenjar hipofisis tersebut diambil dan disuntikkan dengan menggunakan spuit ke tubuh ikan resipien, yaitu 0,3 cc untuk jantan dan 0,5 cc untuk betina.
9.    Ikan yang telah disuntik dimasukkan ke dalam bak pemijahan, lalu dibiarkan selama kurang lebih 10 jam. Dicatat hasilnya.






III.      HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1  Hasil
Tabel 3.1 Perlakuan Dosis kelenjar Hipofisis

Keterangan
:
(+) : Terjadi pemijahan
(-)  : Tidak terjadi pemijahan
















3.2     Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan,  percobaan hipofisasi yang dilakukan didapatkan hasil yang diperoleh, kelompok 3 dan 4 dari rombongan IV dengan perlakuan dosis berhasil memijah, sedangkan yang lain tidak memijah, begitu pula dengan hasil dari rombongan III dengan perlakuan rasio yang semua ikan tidak ada yang memijah setelah dipelihara selama 8 sampai 12 jam. Ikan resipien yang digunakan adalah ikan nilem (Osteochillus hasselti) sedangkan ikan donor digunakan ikan mas (Cyprinus carpio). Menurut Sumantadinata (1981), ikan yang belum matang kelamin kelenjar hipofisanya mengandung gonadotropin dalam jumlah yang sedikit sekali atau tidak mengandung gonadotropin. Effendi (1978), menyatakan bahwa tingkat kematangan ikan pada tiap waktu bervariasi, tingkat kematangan  tertinggi akan didapatkan paling banyak pada saat pemijahan akan tiba. Sistem reproduksi pada ikan dikontrol oleh kelenjar pituitari yaitu kelenjar hipotalamus, hipofisis–gonad, hal tersebut dipengaruhi oleh adanya pengaruh dari lingkungan yaitu temperatur, cahaya, cuaca yang diterima oleh reseptor dan kemudian diteruskan ke sistem syaraf kemudian hipotalamus melepaskan hormon gonad yang merangsang kelenjar hipofisa serta mengontrol perkembangan dan kematangan gonad dalam pemijahan (Sumantadinata, 1981). Hipofisa berukuran sangat kecil, terletak di sebelah bawah bagian depan otak besar (diencephalon) sehingga jika otak kiri diangkat, maka kelenjar ini akan tertinggal. Kelenjar hipofisa terdiri atas 4 bagian masing-masing berurutan dari depan ke belakang adalah pars tubelaris, pars anterior, pars intermedius dan neurophisis (Effendi, 1978).
Syarat ikan donor adalah matang gonad, satu family dengan ikan resipien, dan perbandingan ikan donor dan resipien adalah 1,5 : 1. Ciri-ciri ikan yang matang kelamin pada ikan jantan menurut Santoso (1993) adalah gerakannya lincah dan gesit mengejar betinanya, jika bagian abdomen distriping akan mengeluarkan milt, sisiknya kasar jika diraba. Ciri ikan betina matang kelamin adalah badannya, terutama bagian perut membesar atau buncit, apabila diraba terasa lembek, gerakannya lambat atau lamban, memberi kesan malas bergerak, jika distriping akan mengeluarkan sel telur, pada malam hari biasanya meloncat-loncat.
Ikan yang berfungsi sebagai ikan donor yang dipilih adalah ikan yang sudah masak kelamin dan tidak boleh mati lebih dari dua hari sebelum perkawinan. Donor yang paling baik adalah ikan yang sejenis. Ikan donor harus mempunyai perbandingan dengan ikan resipien 1,5 : 1, artinya 1,5 kg ikan donor untuk 1 kg ikan resipien. Hipofisa ikan donor digunakan satuan dosis ikan donor pada ikan resipien adalah 0,4 ml untuk ikan betina dan 0,3 ml untuk ikan jantan (Greene, 1968). Ikan yang sudah mengalami ovulasi yang setiap mengeluarkan telurnya yaitu ikan yang menunjukkan gejala gelisah dan sering bergerak ke arah permukaan air setelah itu akan bertelur. Ciri ikan memijah adalah air berbau amis dan sedikit berbusa, terlihat adanya sel telur di air  (Sumantadinata, 1981).
Pemijahan dapat dibagi menjadi tiga, antara lain pemijahan alami yang terjadi jika ikan berada di tempat yang sama. Pemijahan semi buatan, jika ikan sebelumnya telah dirangsang atau dipacu untuk memijah lalu dibiarkan memijah dengan sendirinya dengan diletakkan di lokasi yang sama. Pemijahan lainnya adalah pemijahan buatan, dilakukan dengan menstriping milt dan ovum lalu keduanya dipertemukan dalam suatu tempat (tanpa ada indukan). Fase yang sangat penting teknologi reproduksi buatan pada ikan adalah perolehan produk sperma yang berasal dari stimulasi hormon yang telah masak, ovulasi, dan spermiasi yang dilakukan secara bersamaan (Ville et al., 1988).  Reproduksi merupakan kemampuan individu untuk menghasilkan keturunan sebagai upaya untuk melestarikan jenisnya atau kelompoknya. Ikan memiliki ukuran dan jumlah telur yang berbeda, tergantung tingkah laku dan habitatnya. Sebagian ikan memiliki jumlah telur banyak, namun ukurannya kecil, sehingga sintasannya rendah. Sebaliknya ikan memiliki telur sedikit, ukurannya besar. Kegiatan reproduksi pada setiap jenis hewan air berbeda-beda, tergantung kondisi lingkungannya (Susanto, 1992).
Setelah penyuntikkan dilakukan, ekstrak kelenjar hipofisa akan mempengaruhi kehidupan ikan resipien melalui suatu mekanisme. Mekanisme ini dimulai dengan adanya rangsangan atau stimulus yang digunakan oleh hipotalamus untuk merangsang sekresi GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone). GnRH melalui vessel dibawa ke adenohipofisa. Adenohipofisa mensekresikan hormon gonadotropin yang kemudian lewat peredaran darah dibawa menuju gonad. Gonadotropin ini akan memacu gonad dalam proses spermatogenesis (Ville et al., 1988). Sumantadinata (1981) menyatakan bahwa, hormon ini pada ikan sekaligus berfungsi sebagai FSH (Folicle Stimulating Hormone) dan LH (Lutenezing Hormone), seperti pada mamalia.
Hormon reproduksi ikan yang berperan menurut Susanto (1992) adalah gonadotropin yaitu Leuteinizing Hormone (LH) dan Folicle Stimulating Hormone (FSH). Hormon gonadotropin tersebut dihasilkan oleh kelenjar adenohipofisa yang akan merangsang proses pemasakan ovulasi yang pada akhirnya merangsang induk betina untuk memijah. Kelenjar hipofisa akan menghasilkan hormon yang berperan dalam kegiatan seksual dan gonadotropin. Hipofisis terdiri dari 2 bagian utama yaitu limfosit dan granumatus (Gutenberg et al., 2009). Terdapat tiga macam hormon thyropin yang berfungsi mengatur kerja thyroid dan gonadotropin yang dihasilkan oleh sel chianophil yang terletak pars distalis, dan berperan dalam pematangan gonad dan mengawasi sekresi hormon-hormon yang dihasilkan oleh gonad, dimana hormon tersebut berperan dalam proses pemijahan. Hormon lain yaitu ICSH (Intestill Cell Stimulating Hormone) yang dapat mengontrol sekresi estrogen dan progesteron dalam ovarium dan testoteron dalam testis. Testosteron dibutuhkan dalam alam melengkapi proses spermatosit bersama dengan sekresi pituitary dari ICSH. Ovaprim adalah campuran analog salmon GnRH dan Anti dopamine dinyatakan bahwa setiap 1 mL ovaprim mengandung 20 mg sGnRH-a (D-Arg6-Trp7, Lcu8,Prog-NET) – LHRH dan 10 mg Anti dopamine. Ovaprim juga berperan dalam memacu terjadinya ovulasi.  Peranan-peranan hormon LHRH adalah untuk kematangan gonad ikan (Simanjuntak, 1985).
Hipofisis tergolong dalam dua bentuk histopatologi, yaitu limfositik dan granulanomous. Hipofisitis limfositik dijumpai pada banyak bentuk. Hipofisitis granulanomous mempunyai perbedaan epidemiologi. Diameter normal dari kelenjar hipofisis adalah 3.25±0.56 mm pada level optik dan mencapai 1.91±0.4 mm pada insersi kelenjar hipofisis (Gutenberg et al., 2009). Faktor-faktor lingkungan seperti suhu, cahaya, sifat fisik dan kimia juga mempengaruhi tingkah laku hewan. Suhu dan cahaya akan mempengaruhi sistem saraf dan otak pada proses pemijahan, dimana suhu optimum yang dibutuhkan ikan untuk memijah ialah 28-30OC. Rangsangan dari saraf pusat akan dihantarkan ke hipotalamus dan akan mengeluarkan GnRH yang akan merangsang sistem saraf pusat untuk meneruskan rangsang ke sel-sel gonadotropin yang berada dalam sistem hormon tersebut, yang merangsang gonad untuk menghasilkan hormon gonadotropin yang dibutuhkan dalam proses pemijahan (Bond, 1979).
Menurut Nasution (2004), umumnya ikan akan terus menerus memijah setelah pertama kali matang gonad, namun bergantung kepada daur pemijahannya, ada yang satu tahun sekali, beberapa kali dalam satu tahun, dan sebagainya. Beberapa faktor yang mempengaruhi dan menentukan daur reproduksi antara lain adalah suhu, oksigen terlarut dalam perairan dan hormon yang berperan dalam reproduksi yang dapat memacu organ-organ reproduksi untuk berfungsi. Umur pada awal reproduksi bervariasi terhadap jenis kelamin. Bagi ikan jantanmaupun betina, umur pertama kali memijah bergantung kepada kondisi lingkungan yang sesuai. Saat lingkungan yang tidak sesuai untuk tumbuh dan mempertahankan sintasan, ikan-ikan cenderung akan menangguhkan pemijahan, karena akan menurunkan tingkat pertumbuhan dan sintasan, sehingga reproduksi cenderung akan berlangsung pada umur lebih muda.
Faktor internal yang mempengaruhi pemijahan ikan adalah faktor fisiologis dan psikologis ikan seperti ikan belum matang kelamin atau ikan dalam keadaan stress. Faktor eksternal yang mempengaruhi pemijahan ikan seperti cahaya, temperatur, dan arus atau aliran air. Susanto (1992), menambahkan bahwa suhu air merupakan salah satu faktor fisik yang dapat mempengaruhi nafsu makan dan pertumbuhan ikan serta proses metabolisme lainnya. Kisaran suhu dalam bak pemijahan yang tidak sesuai dengan batas toleransi ikan akan dapat menggagalkan proses pemijahan. Faktor lain yang sangat berpengaruh yaitu cara pengambilan dan penyuntikan ikan. Pengambilan ikan harus hati-hati untuk keberhasilan hipofisasi. Luka atau hilangnya sisik dapat mengakibatkan ikan resipien tidak dapat memijah walaupun telah diberikan suntikan ekstrak hipofisa, karena gangguan secara fisiologis pada ikan.
Proses hipofisasi dilakukan dengan cairan ekstrak kelenjar hipofisa disuntikkan ke dalam tubuh ikan secara intra muskular, yaitu melalui otot punggung diantara sisik. Cara penyuntikan dalam hipofisasi dapat dilakukan secara muscular, yaitu dengan cara menyuntik lewat punggung atau otot batang ekor, kemudian secara intra peritoneal, yaitu dengan cara menyuntikkan ke dalam rongga perut, lokasinya antara kedua sirip perut sebelah depan atau antara sirip dada sebelah depan. Suntikan ini disejajarkan dengan dinding perut. Teknik penyuntikan yang lainnya adalah secara intra cranial, yaitu dengan cara menyuntikkan lewat kepala. Suntikan ini dengan memasukkan jarum injeksi ke dalam rongga otak melalui tulang occipitial pada bagian yang tipis (Sumantadinata, 1981).
Menurut Bond (1979), mekanisme hipofisasi dimulai ketika rangsangan dari syaraf pusat diantarkan ke hipotalamus, setelah lebih dahulu diolah oleh reseptor seperti mata dan sirip. Hipotalamus akan mengeluarkan GnRH yang akan merangsang gonad untuk menghasilkan hormon gonadotropin yang dibutuhkan dalam proses pemijahan. Hormon-hormon tersebut akan segera mempengaruhi kerja dari alat-alat kelamin pada ikan yaitu testis dan ovarium. Testis akan menghasilkan androgen steroid dan ovarium akan menghasilkan estrogen. Mekanisme hormon kelamin adalah hormon steroid seperti estrogen, kortisol, aldosteron dan lain-lain, masuk ke dalam sasaran kemudian merangsang aktivitas gen maka ikan akan segera memijah.





IV.    KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan dan praktikum acara efek hormonal pada ovulasi dan pemijahan ikan dapat disimpulkan bahwa :
1.    Hipofisa berukuran sangat kecil, terletak di sebelah bawah bagian depan otak besar (diencephalon) sehingga jika otak kiri diangkat, maka kelenjar ini akan tertinggal. Kelenjar hipofisa terdiri atas 4 bagian masing-masing berurutan dari depan ke belakang adalah pars tubelaris, pars anterior, pars intermedius dan neurophisis.
2.    Ciri ikan memijah adalah air berbau amis dan sedikit berbusa, terlihat ada sel telur di dalam air.


























DAFTAR REFFERENSI
Bond, C.E. 1979. Biology of Fishes. WB Soundary Company, Phyladelphia.

Effendi, M. I. 1978. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor.
Greene, G. H. 1968. Reproduction Control Factor in Cyprin Fish. Brachidonioresio Droct Fao Word Synaton Warm Pond Fish Culture.
Gutenberg, A. et al. 2009. A Radiologic Score to Distinguish Autoimmune Hypophysitis from Nonsecreting Pituitary Adenoma Preoperatively. AJNR Am J Neuroradiol 30:1766 –72.
Nasution, S. H. 2004. Karakteristik Reproduksi Ikan Rainbow Selebensis (Telma
therina celebrensis Boulenger). Jurnal Makalah Individu S3 IPB. Hal. 1-8.
Santoso, B. 1993. Petunjuk Praktis Budidaya Ikan Mas. Kanisius, Yogyakarta.
Simanjuntak, R. H. 1985. Pembudidayaan Ikan Lele. Bathara Jaya Aksara, Jakarta.
Sumantadinata, K. 1981. Pengembangan Ikan-Ikan Pemeliharaan di Indonesia. Sastra Hudaya, Bogor.
Susanto, H. 1992. Budidaya Ikan di Pekalongan. Penebar Swadaya, Jakarta.
Ville, C.A. Warren, F. W. Jr. Robert. 1988. Zoologi Umum. Erlangga, Jakarta.


FUNGSI CHEMORESEPTOR PADA LOBSTER







UNSOED







Oleh :
                                                        Nama                            : Ikhwan Mulyadi
                                                        NIM                               : B1J012187
                                                        Rombongan               : V
                                                        Kelompok                   : 2
Asisten                        : Anisa Rahmawati








LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN II






KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2014
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
 Reseptor adalah neuron atau sel-sel ephitelium yang terspesialisasi, yang ini terdiri dari sel itu sendiri atau dalam kelompok dengan jenis sel lain di dalam organ, seperti organ sensori (mata dan telinga). Reseptor mendeteksi perubahan beberapa variable lingkungan internal hewan dalam setiap kontrol homeostasis. Ekteroreseptor mendeteksi stimulus dari luar tubuh, seperti tekanan, panas, cahaya dan bahan kimia. Interoreseptor mendeteksi stimulus dari dalam tubuh, seperti tekanan darah dan posisi tubuh. Sel-sel reseptor mengubah energi stimulus menjadi perubahan dalam potensial membran, kemudian menghantarkan sinyal ke sistem saraf (Ville et al.,1988).
Macam reseptor berdasarkan tipe stimulusnya antara lain chemoreseptor, mechanoreseptor dan photoreseptor. Chemoreseptor yaitu indera yang distimulisasi oleh berbagai ion atau molekul kimia baik dalam bentuk gas maupun cairan reseptor ini meliputi indera penciuman, perasa dan juga reseptor yang memanta yang memantau konsentrasi oksigen dan karbondioksida. Mechanoreseptor adalah organ indera yang distimulasi oleh suatu energi kinetik. Organ-organ indera yang termasuk dalam kategori ini adalah organ yang memantau fungsi-fungsi internal seperti tensi otot atau posisi sendi, dan tensi otot atau posisi sendi, dan juga indera peraba, keseimbangan dan pendengaran. Photoreseptor adalah indera yang merespon energi elektromagnetik dan bentuk foton. Indera yang termasuk dalam respon photoreseptor yaitu organ penglihatan (Storer, 1975).
Indera peraba pada lobster (Cherax quadricarinatus) sangat penting peranannya dalam berbagai kegiatan, misalnya menemukan makanannya dan menghindari serangan dari berbagai predator. Indera peraba terletak di rambut-rambut khusus pada berbagai tempat di tubuhnya. Indera penglihatan mungkin mempunyai peranan yang kecil, karena mata facet hampir tidak berguna untuk mengenal bentuk kecuali mengenal sesuatu yang bergerak. Lobster tidak dapat bereaksi terhadap gelombang suara karena lobster sukar untuk membedakan reaksi pengecapan dan bau yang disebut chemoreseptor, yang disebar di seluruh permukaan tubuh (Radiopoetro, 1977).
Lobster (Cherax quadricarinatus) digunakan sebagai obyek pengamatan untuk mengetahui fungsi chemoreseptor dan termasuk avertebrata yang masuk dalam filum Arthropoda kelas Crustacea, mudah dijumpai di perairan Indonesia. Chemoreseptor merupakan indera yang distimulasi oleh berbagai ion atau molekul kimia baik dalam bentuk gas atau cairan. Chemoreseptor ini meliputi indera penciuman, indera perasa dan juga reseptor yang mengatur konsentrasi oksigen dan karbondioksida. Chemoreseptor pada udang terdapat pada bagian antenullanya. Fungsi terpenting dari antenulla adalah mendeteksi ada tidaknya pakan atau merespon kehadiran pakan yang memiliki aroma khas. Antenula pada Crustacea memiliki fungsi untuk mencari makanan, diantaranya adalah menangkap stimulus kimia dan sebagai indera pembau. Antenulla juga berfungsi untuk mengenali lawan jenis, menghindari dari serangan atau gangguan yang diakibatkan oleh organisme lain (predator) dan mempertahankan daerah teritorialnya (Ville et al., 1988).

1.2     Tujuan
Tujuan praktikum acara ini adalah untuk mengetahui fungsi-fungsi chemoreseptor pada lobster (Cherax quadricarinatus).
























II. MATERI DAN CARA KERJA
2.1     Materi
Alat yang digunakan adalah gunting kecil, bak preparat, stopwatch, pinset, akuarium dan senter.
Bahan yang digunakan adalah lobster (Cherax quadricarinatus), pakan berupa pelet dan tissue

2.2     Cara Kerja
Cara kerja yang digunakan dalam praktikum fungsi chemoreseptor pada lobster adalah sebagai berikut :
1.         Akuarium diisi dengan air tawar bersih.
2.         Udang I diablasi antenulla dan udang II dibiarkan normal.
3.         Udang dimasukan ke dalam akuarium setelah diablasi.
4.         Pakan dimasukkan kedalam akuarium bersamaan dengan dihidupkannya stopwatch.
5.         Gerakan udang di aquarium diamati selama 10 menit lalu dicatat.
6.         Setelah 10 menit pertama akuarium dibersihkan dari pakan.
7.         Pengamatan dilakukan selama 2 x 10 menit.
8.         Setiap pergerakan antenulla dan mendekati pakan dicatat waktunya dan hasilnya dimasukkan ke dalam tabel.













III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1     Hasil
Tabel 3.1.1 Pengamatan Gerakan Antenulla Lobster sebagai Respon Terhadap Pakan
No
Perlakuan
Waktu
Flicking
Withdraw
Rotasi
Wipping
Mendekati Pakan
1
Ablasi mata
10’ pertama
0:37
0:46
1:36
2:00
2:48
8:00
8:30
1:00
3:02
2:53

2:13
10’ kedua
0:34
0:53
1:36
2:39
2:52
4:29
4:55
5:05
5:08
5:36
5:37
5:48
6:53
0:49
0:50
0:58



2
Ablasi antenulla
10’ pertama




03:18
08:43
10’ kedua




01:12
09:42
3
Normal
10’ pertama
00:30
01:41
03:03
05:36
06:23
06:36
08:00
08:14
09:07
09:51
05:48
08:34
08:51
09:14
09:22


01:26
03:16
04:22
10’ kedua
00:37
00:48
00:55
02:2 8
02:54
03:50
04:00
04:58
05:31
06:12
06:42
06:58
07:02
07:28
08:06
08:75
08:78
08:49
09:04
09:37



4
Ablasi total
10’ pertama




0:51
0:57
2:25
4:15
7:12
7:05
10, kedua




0:17
4:27
6:57
8:31



4            
3.2   Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh kelompok 2 denga perlakuan ablasi antenulla dan normal menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Perlakuan normal menunjukan bahwa lobster masih sangat responsif dalam pergerakan. Sedangkan pada perlakuan ablasi antenulla lobster tidak banyak menimbulkan respon. Berdasarkan pada banyaknya gerakan yang dilakukan maka lobster dengan perlakuan ablasi antenulla tidak memberikan adanya respon. Hal ini terjadi karena organ yang berfungsi sebagai reseptor telah hilang. Utuhnya antenulla pada udang normal menyebabkan udang dapat menerima rangsangan dari lingkungannya sehingga ia memerlukan waktu singkat untuk mendeteksi pakan (Roger, 1978).
Menurut Harfaz dan Galun (1987), bahwa tahapan atau gerakan lobster (Cherax quadricarinatus) dalam mencari pakan sebagai berikut:
a)      Gerakan mencari pakan dengan diam ditempat:
  1. Gerakan melecut antenulla dengan cepat dan dilakukan dengan kasar
  2. Gerakan membersihkan dengan menggerakan kearah ventral dan terus bergerak ke bawah (pangkal antenulla).
  3. Gerakan melecut antenulla dengan menarik antenulla ke belakang dan kemudian mengarah ke depan
  4. Gerakan antenulla dan antenna mengorientasi langsung mengenai sasaran yaitu sumber chemoatractant.
  5. Gerakan mengangkat chepalothoraks setinggi-tingginya dengan periopodnya.  Sikap ini dilakukan dalam melecut antenulla dan meningkatkan frekuensi pelecutannya.
  6. Gerakan menyapu atau menguasai antena, kadang diikuti pergerakan kecil melingkar dari antenulla (wipping dan rotation)
  7. Gerakan mencari substrat yang ada di depan dengan chela dan membawa substrat tersebut kemulutnya. Gerakan ini dilkukan saat lobster dalam keadaan diam.
b)    Gerakan menuju sasaran
Lobster bergerak maju kearah sumber chemoatractant. Gerakan ini dilakukan dengan berjalan menggunakan periopod ketiga, keempat, dan kelima. Selama gerakan ini, periode pertama tetap menyapu daerah yang berbeda di depannya dan mengambil bahan-bahan serta membawanya ke mulut. Jalan zig-zag dilakukan dalam gerakan ini.
c)     Mendatangi sasaran
Untuk mencapai sisi sebenarnya dari chemoatractant dan mencoba untuk memakannya. Gerakan-garakan pelecutan antenulla pada Lobster (Cherax quadricarinatus) menurut Pearson (1979) antara lain :
1.       Flicking yaitu gerakan antenulla melecut ke depan.
2.       Wipping merupakan gerakan membersihkan antenulla (membersikan pakan yang ada disekitar antenulla). Pembersihan antenulla biasanya terjadi bila ada rangsangan mekanik aesthecs.
3.       Withdraw yaitu gerakan antenulla melecut ke belakang berfungsi untuk menghindari musuh.
4.       Rotation merupakan gerakan memutar antenulla fungsinya untuk mengacaukan ion-ion dalam pakan sehingga pakan dapat dengan mudah dan cepat berdifusi ke dalam sel-sel chemoreseptor.
Menurut Kay (1988) gerakan wipping adalah gerakan membersihkan antenulla dengan mengarahkannya ke ventral diantara maksilla dan terus ke belakang (dorsal) pada posisi normal sehingga menyebabkan filamen tersisir dan tergosok oleh maksilla yang terayun ke belakang. Rotasi berupa gerakan dari daerah proksimal ke daerah medial. Gerakan flicking dan wipping berbeda dengan withdraw dan rotation. Dua gerakan ini cenderung untuk beradaptasi melainkan untuk persiapan lokomosi yaitu untuk mengenali lingkungan sekitar.
Mekanisme stimulus (pakan) sampai pada organ chemoreseptor lobster yaitu makanan yang dimasukkan ke dalam akuarium akan berdifusi ke dalam air dalam bentuk ion-ion, kemudian ion-ion tersebut akan diterima oleh sel-sel chemoreseptor pada antenulla. Impuls dari antenulla akan ditransfer menuju otak oleh neuron afferen. Impuls ini oleh otak diproses menjadi tanggapan dan diteruskan ke organ reseptor melalui neuron efferen. Organ reseptor kemudian melakukan gerakan sesuai dengan informasi dari otak (Ville et al.,1988).
Chemoreseptor adalah indera yang distimulan oleh berbagai ion atau molekul kimia baik dalam bentuk gas maupun cairan. Chemoreseptor ini meliputi indera penciuman, indera  perasa dan juga reseptor yang memantau konsentrasi oksigen dan karbon dioksida (Gordon, 1982). Ada dua macam chemoreseptor yaitu untuk mengenali stimulus yang berasal dari sumber yang jauh dari tubuh, berupa rambut pada antena dengan nilai ambang yang sangat rendah atau stimulus berupa gas berkonsentrasi rendah. Kedua untuk mengenali stimulus yang berasal dari sumber yang dekat, berupa palpus maksilaris dan sering pada torsi dengan nilai ambang yang tinggi. Sehingga, untuk mengetahui letak stimulus berdasarkan konsentrasi stimulus dalam bentuk gas dapat mengetahui jauh dekatnya rangsangan (Ville et al.,1988).
Antenulla merupakan struktur sensori yang dapat bergerak untuk menerima dan mendeteksi rangsangan dari luar. Organ tersebut berfungsi untuk mencari perlindungan, mencari makanan, mencari pasangan serta untuk menghindar dari predator (Storer, 1975). Antenulla terletak di tengah yaitu diantara antena dan scaphocerit, bentuknya seperti antena tetapi lebih pendek dari antena dan jumlahnya 2 pasang. Sedangkan antena hanya sepasang dan memiliki ukuran lebih panjang dari antenulla. Antena berfungsi untuk mendeteksi adanya pengaruh dari luar.
Lobster yang diablasi antenullanya sudah tidak dapat melakukan flicking, wipping, withdraw, rotation dan hanya bisa memberi respon mendekati pakan. Hal ini membuktikan bahwa pentingnya antenulla dalam respon terhadap aktifitasnya. Lobster dengan perlakuan ablasi mata masih bisa melakukan gerakan seperti flipping, wipping, withdraw, rotation dan mendekati pakan. Sedangkan udang dengan ablasi total tidak dapat melakukan gerakan apapun kecuali mendekati pakan. Gerakan flicking, wipping, dan withdraw pada lobster kontrol mendominasi gerak antenulla. Menurut Radiopoetro (1977), pada perlakuan ablasi total dan antenulla, tidak terjadi gerakan karena organ yang berfungsi sebagai reseptor telah hilang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Storer (1975), bahwa antenulla pada lobster merupakan struktur sensor yang dapat bergerak untuk mencari perlindungan, makan, dan mencari pasangan serta menghindari predator. Oleh karena itu, lobster yang tidak diberi perlakuan ablasi akan berespon terhadap pakan. Menurut Harpaz (1990), Faktor yang mempengaruhi lobster mendekati pakan antara lain berupa sensori berupa kimia, cahaya, osmotik, rangsangan mekanik dan adanya chemoreaktant yang dikeluarkan oleh pakan.
Keistimewaan yang dimiliki lobster adalah pola makan yang khas. Ada tiga tahap respon tingkah laku pakan terhadap pakan bagi lobster yaitu orientasi, mencari dan mendeteksi pakan (Harfaz and Galun, 1987). Mekanisme pakan hingga pada stimulus dimulai dari pakan yang dimasukkan ke dalam akuarium yang kemudian berfusi ke dalam air dalam bentuk ion-ion. Kemudian ion-ion tersebut akan diterima oleh chemoreseptor yang terdapat pada antenula. Impuls dari antenulla akan ditransfer menuju otak melalui neuron afferent. Impuls itu diproses oleh otak menjadi tanggapan dan diteruskan ke organ reseptor melalui neuron afferent. Organ reseptor kemudian melakukan gerakan sesuai informasi yang diterima otak dan terjadilah gerakan lobster mendekati pakan yang disediakan dalam akuarium tersebut (Yuwono, 2001). Menurut Corotto et al., (1992), kontrol metabolik menggunakan dua chemoreseptor yang fungsinya: chemoreseptor tengah terletak di medula bagian ventral dan chemoreseptor perifer terletak di dalam karotid. Chemoreseptor tengah sensitif untuk hipercapnia (level CO2 darah tinggi) dan chemoreseptor perifer sensitif untuk hipercapnia dan hipoxia (level oksigen darah rendah).
Harfaz dan Galun (1987) menyatakan bahwa, kecepatan mendekati pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu banyaknya pakan yang diberikan, kecepatan arus air, kondisi organ reseptor, dan lain-lain. Makin banyak pakan yang diberikan, molekul kimia yang disebarkan makin banyak, sehingga stimulus lebih cepat diterima lobster. Makin cepat arus air, makin cepat aroma atau senyawa kimia yang diterima reseptor dan adanya pakan cepat terdeteksi oleh lobster. Kondisi organ reseptor mempengaruhi penerimaan stimulus. Bila organ reseptor berfungsi dengan baik (tidak ada kerusakan) maka stimulus akan cepat atau dapat diterima dengan baik.
Individu lobster dapat dikenal didasarkan pada deteksi urin feromon melalui chemoreseptor yakni antennulla flagela lateral. Sensor spesifik diperoleh melalui tahap mediasi yang belum diketahui penyebabnya. Kebanyakan sel chemoreseptor memiliki flagela yang banyak ditemukan pada sensilla aestetas unimodal dan kerja spefikasi glomeruli lobus olfaktori di bagian otak. Sel chemoreseptor tambahan terletak disekitar sel mechanoreseptor pada sensilla bimodal, termasuk rambut penjaga yang semua lobus olfaktorinya tidak bekerja. Neuro anatomi yang terdapat didalamnya membawa aestetas essensial menuju chemosensor kompleks seperti yang terlihat pada duri Panulirus argus dapat menunjukkan adanya perbedaan deteksi pakan yang kompleks dan letak lokasinya tanpa aestetas (Johnson, 2005).
Lobster air tawar ada dua jenis pertumbuhan yaitu pertumbuhan diskontinyu yang terjadi pada jenis crustasea (termasuk Cherax quadricarinatus) dan pertumbuhan kontinyu yang terjadi pada mollusca dan vertebrata. Pertumbuhan Cherax quadricarinatus. (baik bobot maupun panjang tubuh) bersifat diskontinyu yang terjadi secara berkala hanya sesaat setelah pergantian kulit (moulting) yakni saat kulit luarnya belum mengeras sempurna. Pertumbuhan tidak akan terjadi tanpa didahului oleh proses pergantian kulit, karena crustacea mempunyai kerangka luar yang keras (tidak elastis), sehingga untuk tumbuh menjadi besar perlu membuang kulit lama dan menggantinya dengan kulit baru (Kurniasih, 2008). Pada udang terdapat shell pelindung ketika di serang predator pada bagian antenulanya. Shell ini dapat mengalihkan perhatian predator dan menjauh (Shabani et al., 2007). Menurut Saputra (2009), jenis udang Panullirus hummarus hidup pada perairan pantai yang jernih pada bebatuan dan karang berpasir. Udang bersifat nokturnal (aktif malam hari) dan suka bergerombol. Musim penangkapan terjadi pada musim hujan, pada hari bulan gelap, terutama setelah bulan purnama. Jangka hidung spesies ini sekitar 8-10 tahun.
Hiu dapat melacak dengan kecepatan 1 m/s, yang secara signifikan kurang dari apa yang mereka mampu (> 3 m/s), meskipun berpotensi kompetitif sifat pelacakan makanan antara hewan terdekat. kecepatan ini (10 cm/100 ms) cocok untuk menyelesaikan patch bau spasi pada urutan 10 cm. Demikian pula, pengurangan kecepatan berjalan selama pelacakan telah diamati juga pada lobster, lobster berhenti melakukan pelacakan jika jarak patch lebih besar dari 10 cm. Hal ini menunjukkan bahwa untuk memperoleh informasi pakan yang sama, hewan berenang lebih cepat mungkin telah mengembangkan lebih besar waktu resolusi dan / atau penciuman hidung yang lebih luas (Gardiner dan Atema, 2010).



























IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktikum dan pembahasan acara fungsi chemoreseptor pada lobster dapat diambil kesimpulan :
1.       Chemoreseptor pada lobster air tawar berfungsi untuk mendeteksi ada atau tidak adanya pakan atau merespon kehadiran pakan yang memiliki aroma khas.
2.       Gerakan yang dapat dilakukan  lobster dalam mendeteksi adanya stimulus yaitu dengan melakukan gerakan flicking, wipping, withdraw, rotation, dan mendekati pakan.
3.       Lobster dengan perlakuan normal, merupakan yang paling responsif dibandingkan dengan udang yang diberi perlakuan lain, karena antenulla sangat penting bagi chemoreseptor pada lobster.
4.        Faktor yang mempengaruhi lobster dalam mendekati pakan adalah pakan yang diberikan dan kondisi organ reseptor.






















DAFTAR REFERENSI
Corotto F., R. Voigt, and J. Atema. 1992.  Spectral Tuning of Chemoreceptor Cells of the Third Maxilliped of the Lobster, Homarus americanus. Biol. Bull. 183: 456-462.
Gardiner, J. M., Atema, J. 2010. The Function of Bilateral Odor Arrival Time Differences in Olfactory Orientation of Sharks. Journal of Current Biology. Vol 20: 1187–1191.

Gordon, M.S.,  G.A. Bartholomeno,  A.D., Grinele,  C. Barker and Fred, N.W., 1982.  Animal Physiology.  Mac Millan Publishing Co  Ltd,  New York.
Harfaz, S.D. and R. Galun. 1987. Variability in Feeding Behaviour of Malaysian Dewaw (Macrobrachium rosenbergii de Man). Diving The Malt.
Harpaz, S. 1990. Variability in Freeding Behavior of Malaysian Prawn Macrobrachium Rosenbergii de Man during The Molt Cycle. E. J. Brill, London.
Johnson M. E. dan Atema, J. 2005. The Olfactory Pathway For Individual Recognition In The American Lobster Homarus Americanus. Journal Experimental Biology. Vol. 10. (208) : 2865-2872.
Kay, I. 1988. Introduction to Animal Physiology. Bios Scientific Publisher, London.
Kurniasih, T. 2008. Peranan Pengapuran dan Faktor Fisika Kimia Air Terhadap Pertumbuhan dan Sintasan Lobster Air Tawar (Cherax sp.). Media Akuakultur. Vol. 3 (2): 126-132.
Pearson, W.H. 1979. Thresold for Detection and Feeding Behavior the Ounggenes Crab. Marine research laboratory, Sequlm.
Radiopoetro. 1977. Zoologi. Erlangga, Jakarta.
Roger, W. 1978. Physiology of Animal. Prentice-Hall Inc, New Jersey.
Saputra, Suradi Wijaya. 2009. Status Pemanfaatan Lobster (Panulirus Sp) Di Perairan Kebumen. Jurnal Saintek Perikanan. Vol. 4. (2): 10 – 15.
Shabani, Shkelzen, Seymanur Yaldiz, Luan Vu, dan Charles D. Derby. 2007.  Acidity enhances the eVectiveness of active chemical defensive secretions of sea hares, Aplysia californica, against spiny lobsters, Panulirus interruptus. J Comp Physiol A 193:1195–1204.
Storer,T. I. 1975. General Zoology. Mc Graw Hill Book Company, New York.
Ville,C. A, Walker, W. F and Barnes, R. D.1988. Zoologi Umum. Erlangga, Jakarta.
Yuwono, E. 2001. Fisiologi Hewan II. Fakultas Biologi UNSOED, Purwokerto.